Minggu, 31 Agustus 2008

New Public Management

New Public Management
atau Bagaimana Good Governance bisa dicapai?


Pendahuluan
Mengapa kita memerlukan New Public Management?
Perdebatan tentang kinerja administrasi publik di seluruh dunia selalu ditandai
dengan ketidakpuasan. Baik politisi maupun warga, bahkan juga pegawai
administrasi sendiri, mengkritisi administrasi dengan kata kunci: ”terlalu lamban,
terlalu mahal, terlalu jauh dari kebutuhan manusia, korup, buruk mutu serta
pemborosan anggaran dan sumber daya manusia”.
Pada saat yang sama tengah dilakukan pula diskusi yang dipromotori oleh Bank
Dunia, OECD dan institusi-institusi besar lainnya tentang “Good Governance” atau
pemerintahan yang baik. Istilah ini dalam sebagian besar penggunaannya sering
dikaitkan dengan frasa yang diawali dengan negasi seperti “tidak ada korupsi, tidak
ada penyalahgunaan uang rakyat, tidak ada KKN, dls”. Padahal, kita bisa mencoba
merumuskan tujuan “Good Governance” dengan kalimat positif, seperti definisi
berikut: Good Governance adalah suatu bentuk pemerintahan dan adminisitrasi
publik yang mampu bekerja secara efisien, yakni mampu memenuhi kebutuhan
rakyat. Definisi ini sama dengan apa yang diharapkan dapat dihasilkan oleh “New
Public Management”.
New Public Management (NPM) merupakan sistem manajemen administrasi publik
yang paling aktual di seluruh dunia dan sedang direalisasikan di hampir seluruh
negara industri. Sistem ini dikembangkan di wilayah anglo Amerika sejak paruh
kedua tahun 80-an dan telah mencapai status sangat tinggi khususnya di Selandia
Baru. Perusahaan-perusahaan umum diprivatisasi, pasar tenaga kerja umum dan
swasta dideregulasi, dan dilakukan pemisahan yang jelas antara penetapan
strategis wewenang negara oleh lembaga-lembaga politik (APA yang dilakukan
negara) dan pelaksanaan operasional wewenang oleh administrasi (pemerintah) dan
oleh badan penanggungjawab yang independen atau swasta (BAGAIMANA
wewenang dilaksanakan). Administrasi dan badan penanggungjawab melaksanakan
tugas yang diserahkan oleh negara atas dasar perumusan “order”” secara kuantitatif
dan kualitatif, lalu disepakatilah anggaran biaya untuk pelaksanaan order tersebut
(order kerja dan anggaran umum).
New Public Management

New Public Management tidak selalu dipahami sama oleh semua orang.
Bagi sementara orang, NPM adalah suatu sistem manajemen desentral dengan
perangkat-perangkat manajemen baru seperti controlling, benchmarking dan lean
management; bagi yang lain, NPM dipahami sebagai privatisasi sejauh mungkin
atas aktivitas pemerintah. Sebagian besar penulis membedakan antara pendekatan
manajemen sebagai perangkat baru pengendalian pemerintah dan pendekatan
persaingan sebagai deregulasi secara maksimal serta penciptaan persaingan pada
penyediaan layanan pemerintah kepada rakyat.
Jika disimpulkan, NPM memiliki ciri-ciri berikut:
Pengendalian yang berorientasi pada persaingan dengan cara pemisahan
wewenang antara pihak yang memberi dana dan pihak pelaksana tugas;
pemfokusan pada efektifitas, efisiensi dan mutu pelaksanaan tugas; pemisahan
manajemen strategis (APA?) dari manajemen operasional (BAGAIMANA?);
Dalam pemberian order dan anggaran umum, pelaksana order swasta dan
pemerintah diperlakukan sama.
Adanya upaya meningkatkan inovasi yang terarah (sebagai bagian dari order kerja)
karena adanya pendelegasian (bukan hanya desentralisasi) manajemen
operasional.

Tujuan
Tujuan New Public Management adalah untuk merubah administrasi publik
sedemikian rupa sehingga, kalaupun belum bisa menjadi perusahaan, ia bisa lebih
bersifat seperti perusahaan. Administrasi publik sebagai penyedia jasa bagi warga
harus sadar akan tugasnya untuk menghasilkan layanan yang efisien dan efektif.
Tapi, di lain pihak ia tidak boleh berorientasi pada laba. Padahal ini wajib bagi
sebuah perusahaan kalau ia ingin tetap bertahan dalam pasar yang penuh
persaingan.
Tujuan di atas bukanlah satu tujuan yang tak dapat dicapai, seperti yang ditunjukkan
oleh pengalaman dari berbagai negara (Swedia, Belanda, Selandia Baru, AS,
Britania Raya, dls.) yang beberapa tahun lalu merasa harus melakukan reformasi
terhadap kinerja administrasi publik di negara mereka. Reformasi ini juga menjadi
semakin penting di negara-negara lain dan juga di Amerika Latin.
Alasan mengapa politik dan administrasi tertarik pada NPM sangat beranekaragam
dan cenderung tak jelas: adminsitrasi mengharapkan memperoleh otonomi yang
lebih besar dan debirokratisasi, pihak politisi yang mengurus masalah keuangan
(parlemen, DPRD) ingin secepat mungkin mereformasi anggaran, sementara
pemerintah dan juga parlemen mengharapkan memperoleh kemungkinan
pengendalian yang lebih besar dan baru. Banyak politisi khawatir, dengan anggaran
umum (Globalbudget) pihak pemerintah dan administrasi hendak melepaskan diri
dari kewajiban justifikasi dan ingin melucuti wewenang parlemen dalam membuat
keputusan dengan cara mengajukan anggaran yang tak berarti. Pihak pelaksana
order kecewa jika dilakukan pemangkasan anggaran atas dasar perbandingan
produksi dan biaya (benchmarking). Indikator produksi dianggap “tak memadai” atau
keseluruhannya dilihat sebagai “dampak negatif ekonomi” yang tak pada tempatnya
atau sebagai penghinaan terhadap administrasi yang profesional.
Untuk menilai administrasi dalam kasus konkritnya, orang harus terlebih dulu
menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
Hasil atau tujuan apa saja yang akan dicapai? (outcome)
Kerja apa saja yang diperlukan untuk bisa memenuhi tujuan (hasil) ini? (output)
Siapa yang harus melaksanakan kerja tersebut?
Berapa banyak dana pemerintah yang harus digunakan untuk itu?
Semakin monopolistik kondisi umum yang harus dihadapinya maka makin penting
pula perbandingan hasil kerja dan biaya dalam administrasi publik. Akibatnya, si
“klien” (warga) tidak bisa “memilih” sekolah, jasa pembuangan sampah atau polisi
(karena semuanya ditangani pemerintah atau pemkot). Karena seringkali tidak ada
dana yang memadai, maka pajakpun atau “harga pasar” tidak mempengaruhi
sistem, misalnya sistem kepolisian. Selain biaya, outcome, output dan lain-lainnya
juga harus dipahami dengan teliti. Ini selalu memunculkan kontroversi besar
menyangkut pengukuran dan kualitasnya. Karena itu jaminan kualitas dalam sektor
publik masih lebih penting, tapi juga kadang-kadang lebih rumit daripada di
perusahaan-perusahaan swasta. Karena, misalnya, harus dilakukan evaluasievaluasi
yang menyeluruh dan banyak makan biaya. Artinya, harus ada evaluasi
yang menggunakan metode yang dapat merambah seluruh bidang dalam
administrasi publik terhadap dampak yang telah dicapai dari upaya-upaya yang
dilakukan.

Tuntutan dan prasyarat
Langkah untuk menerapkan New Public Management bisa dilakukan dengan syarat
ada cukup jumlah pendukung “yang kritis” yang menghendaki reformasi. Para
pendukung ini harus berasal dari administrasi (pemda, pemkot) dan politik; berarti
mereka harus seorang birokrat dan politisi. Warga juga akan setuju dengan
penerapan NPM ini karena mereka banyak mengkritisi kelemahan atau kinerja
administrasi yang loyo. Namun demikian, reformasi ini harus didukung bersama agar
warga bisa memberikan tekanan yang dibutuhkan terhadap politisi dan pihak
administrasi untuk menyelesaikan proses reformasi dengan sukses.
Harus jelas bahwa restrukturisasi seperti ini punya harga, tapi harus disadari pula
bahwa penghematan yang dihasilkan reformasi ini bisa dengan mudah membiayai
kembali investasi. Akan tetapi, sebelum upaya penerapan New Public Management
ini bisa direalisasikan, harus diciptakan dulu prakondisi, yakni pertama, batasan
tanggung jawab antara unit perencana dan unit pelaksana (politik dan administrasi)
dan perangkat sumber daya yang bersifat desentral.

Batasan tanggung jawab
Seperti telah diindikasikan di atas, manajemen publik baru merupakan isu
menyangkut penetapan “apa” dan “bagaimana”. Di sini unit perencana
(tataran politik: parlemen pusat atau daerah) menentukan apa yang harus
dihasilkan administrasi (pemerintah daerah atau pemerintah kota).
Contohnya, politik hendak menciptakan citra kota yang baik, membuat taman
kota dipelihara dan mempertahankan pohon-pohon yang tumbuh di kota.
Untuk merealisasikan ini, unit perencana menetapkan cakupan dan kualitas.
Kemudian ditentukan berapa sering areal hijau tersebut dibersihkan dan
rumputnya dipotong. Sekarang tugas unit pelaksana: pihak administrasi
menghitung biaya yang dibutuhkan untuk melakukan kerja yang digambarkan
di atas. Ini berarti, pihak administrasi membuat proposal permintaan dana
kepada pihak politik (parlemen). Apabila parlemen setuju dengan permintaan
dana tersebut, maka akan dibuat kesepakatan. Tapi, kalau pihak pemerintah
tidak setuju dan menganggap tawaran tersebut terlalu tinggi, masih ada
beberapa kemungkinan lain untuk bisa membuat kesepakatan. Pemerintah
atau unit perencana bisa menurunkan tuntutan kualitasnya atau meminta
administrasi untuk melakukan outsourcing agar administrasi tidak perlu
melakukan sendiri kerja tersebut, tapi bisa menyuruh pihak lain, misalnya
pihak swasta. Namun, proses ini juga bisa berakhir dengan keputusan
pemerintah untuk menyediakan sumber dana yang lebih besar kepada pihak
unit pelaksana atau administrasi dan dengan demikian menerima proposal
awal.
Pada proses penentuan kesepakatan, pihak pelaksana tetap menjadi pihak
yang menentukan pertanyaan, bagaimana pekerjaan harus dilakukan. Hal ini
khususnya terletak pada sektor yang disebut alokasi sumber daya, yaitu
bidang yang menentukan kebutuhan biaya untuk personal, investasi dan
pengeluaran-pengeluaran lainnya.
Dengan adanya pemisahan antara keputusan strategis (perencana) dan
keputusan pihak pelaksana, maka tumpang tindih wewenang akan bisa
dikurangi–yang pada gilirannya menghasilkan pembagian wewenang yang
lebih jelas di antara kedua pihak. Ini hanya bisa dilakukan dengan cara
mendelegasikan wewenang kepada administrasi. Tapi di lain pihak, ini juga
berarti bahwa pihak perencana (pemerintah) mendapatkan ruang gerak yang
lebih leluasa, yang memungkinkannya siap membuat keputusan yang benarbenar
penting dan melihat serta menilai efisiensi kerja administrasi.

Penyatuan tanggung jawab yang mengurus bidang kerja dan dana.
Dewasa ini pembagian tugas di kebanyakan administrasi publik ditandai
dengan pemisahan antara wewenang yang mengurus bidang kerja dan
wewenang yang membidangi dana. Tugas diserahkan pada departemendepartemen,
kantor-kantor atau unit-unit administrasi, sementara dana yang
dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut berada di bawah
tanggung jawab bagian lain. Dana diberikan kepada departemen-departemen
melalui anggaran yang rinci. Dalam anggaran ini juga telah ditentukan alokasi
dana. Sejalan dengan waktu, tugas-tugas yang dilakukan masing-masing
departemen, kantor dan sejenisnya menjadi kerja rutin. Keputusan tentang
dana yang disediakan tidak lagi dilihat dalam hubungannya dengan tugas
yang diserahkan. Artinya, si pemberi dana tidak tahu lagi diapakan saja dana
yang telah dialokasikan; ia hanya berorientasi pada ketersediaan dana. Ini
berarti tidak lagi keterikatan antara order/tugas dengan dana yang diberikan.
Pihak administrasi (pemda/pemkot) merespon ini dengan jawaban bahwa
merekalah yang menetapkan berapa banyak layanan yang hendak
diproduksi dan bagaimana kualitasnya. Fenomena ini merupakan salah satu
alasan tergerogotinya hak parlemen dan dewan kota atau DPRD dalam ikut
menentukan anggaran.

Kondisi di Amerika Latin
Penyusunan administrasi negara yang efisien di negara-negara Amerika Latin
merupakan prasyarat bagi peningkatan demokratisasi, pengembangan ekonomi dan
pengalokasian dana secara adil. Dalam kaitan ini reformasi manajemen memiliki
peran istimewa guna memperbaiki efisiensi peyelenggaraan pemerintahan.
Di banyak negara, reformasi manajemen sedang dipersiapkan atau sudah
diterapkan, meski kadang-kadang dengan pengalaman berbeda dan khususnya
dengan kesadaran bahwa tidak ada paradigma yang standar. Hal ini ditunjukkan
oleh sejumlah studi komparatif.
Jawatan publik di Amerika Latin sebagian besar tidak memiliki administrasi yang
profesional, kalaupun ada, hanya dalam kasus-kasus tertentu saja. Akses terhadap
jawatan publik dan juga praktek kenaikan pangkat (promosi) sangat dipolitisasi dan
biasanya tidak berdasarkan prestasi kerja dan kualifikasi. Ini terjadi baik pada tingkat
pimpinan maupun pada sebagian besar karyawan di dinas pemerintah.
Di masa lalu, jabatan dalam pemerintahan selalu menjadi wadah bagi yang
berkuasa untuk menciptakan lapangan kerja bagi aktivis partai, dan karena itu,
jabatan dalam pemerintahan selalu tak pernah lowong. Oleh karenanya, sangat
mungkin setelah dilakukan analisa terhadap kebutuhan akan lapangan kerja untuk
layanan-layanan yang dihasilkan selama ini, jumlah lapangan kerja yang dibutuhkan
jelas berada di bawah angka riilnya. Jika sudah begini, ada dua pilihan yang tersisa:
mengurangi jumlah personal dalam jabatan publik sebagaimana yang benar-benar
dibutuhkan yang artinya akan terjadi PHK massal dan secara politis tidak akan bisa
berhasil, atau mencoba meningkatkan cakupan layanan secara signifikan dengan
jumlah karyawan yang ada. Andai pilihan kedua ini yang diambil, maka sangat
mungkin harus dilakukan investasi besar di bidang pendidikan dan peningkatan
kualifikasi.
Rintangan lain terhadap implementasi New Public Management adalah terlalu
banyaknya regulasi yang tak jelas dan diterapkan secara semena-mena. Regulasi ini
lebih bersifat mengatur daripada diarahkan untuk memberi layanan kepada
masyarakat. Itu artinya, administrasi publik di Amerika Latin cenderung mengatur
tata kehidupan warganya, tapi tidak melayani masyarakat. Dilihat dari sisi psikologis,
ini bisa menjadi penghalang. Apalagi dengan pendekatan New Public Management,
segala bentuk pekerjaan dalam administrasi publik yang tidak melayani masyarakat
adalah pemborosan. Selain itu, Amerika Latin juga dikenal dengan Undang-undang
administrasinya yang kaku, yang tidak bisa digunakan secara fleksibel, kecuali jika
masyarakat menyuap para pegawai administrasinya.
Struktur hirarki dalam administrasi (pemda/pemkot) di Amerika Latin juga sangat
nyata dan penting bagi rasa harga diri para pemimpinnya, di tingkat manapun.
Pendekatan New Public Management yang menghapus hirarki ini akan
menimbulkan masalah.
Jadi, dilihat secara keseluruhan, peluang untuk menerapkan New Public
Management nampak tidak bagus. Tapi di lain pihak, saat ini sudah ada jutaan
warga yang menderita atas ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan
pelayanan yang dibutuhkan. Kalau mengingat rentannya demokrasi di Amerika Latin
dan kecenderungan situasi yang ekstrim, yakni jatuhnya kekuasaan kepada politisi
yang populis atau mungkin munculnya kekuasaan otoriter, maka penerapan sistem
administrasi yang menunjukkan hasil konkrit sangatlah mendesak.
3. Perangkat-perangkat New Public Management
a. Manajemen kontrak
Penyelenggaraan administrasi publik selama ini ditandai dengan keputusankeputusan
yang bersifat hirarkis dan berdasarkan petunjuk-petunjuk khusus. Dengan
perangkat manajemen kontrak, praktek ini akan diubah – yakni dengan membuat
kesepakatan tentang biaya dan apa yang harus dikerjakan.
Yang dimaksud dengan manajemen kontrak adalah penyelenggaraan administrasi
melalui kesepakatan-kesepakatan tentang tujuan yang hendak dicapai. Kesepakatan
ini mencakup mulai dari tujuan yang hendak diraih hingga pengawasan terhadap
proses pencapaian tujuan tersebut. Landasan manajemen kontrak adalah kontrak
atau perjanjian antara pihak-pihak yang membuat perjanjian. Siapakah pihak yang
membuat perjanjian ini? Pihak pertama adalah pemerintah (politik), dan pihak
lainnya adalah pihak yang memberikan layanan atau pihak pelaksana. Dalam
prakteknya, pemerintah – tergantung pada masing-masing konstitusinya, terdiri dari
parlemen (untuk sistem parlementer) atau presiden bekerjasama dengan parlemen
(untuk sistem presidensiil). Di tingkat daerah ada DPRD yang menjadi pemberi order
dan di lain pihak ada pemerintah daerah sebagai unit pelaksana. Seperti yang telah
diuraikan dalam sub bahasan tentang pembatasan tanggung jawab, petunjukpetunjuk
strategis untuk mencapai tujuan ditentukan oleh parlemen (pusat atau
daerah) yang nantinya harus bertanggung jawab kepada warga, sementara di lain
pihak unit pelaksana (administrasi: pemda atau pemkot) merupakan pihak pemberi
layanan yang profesional – yang bertanggung jawab untuk menghasilkan kerja yang
efisien. Asas manajemen kontrak juga bisa diterapkan dalam penyelenggaraan
administrasi. Pimpinan masing-masing bagian harus mendelegasikan tugas kerja
kepada karyawan yang bertanggung jawab. Karyawan ini membuat kerja tertentu
dalam divisinya. Selain mendelegasikan tugas, pimpinan juga berbicara dengan
karyawannya tentang hasil kerja, anggaran dan ruang gerak untuk bertindak.
Apa yang dimaksud dengan manajemen kontrak di sini bukanlah kontrak atau
perjanjian-perjanjian yang mengikat secara hukum seperti halnya dalam dunia
bisnis, tapi menyangkut kesepakatan tujuan yang bersifat mengikat tentang jangka
waktu yang telah ditetapkan. Kesepakatan ini mengandung tiga unsur penting.
Dalam perjanjian ditetapkan produk serta kerja yang harus dilakukan berdasarkan
kuantitas dan kualitas (tujuan kerja) serta anggaran yang dibutuhkan (tujuan
keuangan). Yang penting dalam kesepakatan ini adalah bahwa si pemberi order
menjelaskan produk yang diinginkan, tapi tidak menentukan bagaimana proses
kerjanya dilakukan. Ini berarti, bagaimana pihak pelaksana mengerjakan produk
yang diinginkan sang pemberi order adalah urusan mereka sendiri, tapi tentu saja
untuk bisa menghasilkan produk yang diminta, si pelaksana harus memahami
obyek3 yang akan digarap.
Instrumen perjanjian memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak. Pertamatama,
pemberi order dapat leluasa merancang bagaimana ia merealisasikan tujuan
politiknya dalam takaran yang terukur dan memberikan order sesuai dengan dana
yang ada. Sementara si pelaksana juga mendapat peluang menciptakan lapangan
kerja yang lebih menarik dan terjamin melalui kreativitas dan prakarsa sendiri.
Unsur penting lain yang mendukung berfungsinya manajemen kontrak adalah
adanya penerapan sistem laporan kerja (lihat sub bahasan controlling) yang
memberikan semua informasi mengenai pelaksanaan kepada pihak pemberi order
dan dengan demikian mendokumentasikan kemajuan kerja sedemikian rupa
sehingga pihak pemberi order setiap saat bisa berunding lagi dengan pihak
pelaksana order.
b. Penyerahan tanggung jawab di bidang sumber daya
Manajemen kontrak bertujuan mengarahkan perhatian utama dan minat bagianbagian
di kantor administrasi pada hasil kerja mereka. Secara teknis ia berfungsi
sebagai berikut: pekerjaan yang harus dihasilkan oleh sebuah bagian atau
departemen (produk) didefinisikan dengan jelas. Agar dapat melakukan pekerjaan
ini, departemen tersebut memperoleh anggaran yang disesuaikan dengan produk
yang dipesan. Dari anggaran inilah dapartemen harus membiayai semua pekerjaan
yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk tersebut. Apabila ada pekerjaan yang
dilakukan oleh bagian (departemen) lain–karena misalnya–tidak ada cukup personil
dalam departemennya sendiri, maka pekerjaan itu secara prinsip harus dibayar.
Anggaran yang telah ditetapkan untuk satu produk tidak bisa ditambah. Apabila di
tengah-tengah tahun pelaksanaan anggaran dana yang diperlukan ternyata kurang,
pihak pelaksana harus bisa memikirkan jalan keluarnya. Dana tambahan dapat
disetujui parlemen hanya apabila terjadi penambahan tugas yang relevan – yang
tidak bisa direncanakan sebelumnya, dan apabila pihak departemen yang
mengerjakan order telah mencoba semua kemungkinan untuk menutupi biaya yang
kurang. Apakah departemen telah bekerja dengan baik atau tidak, hal itu diukur dari
tingkat keberhasilan memenuhi kesepakatan kerja yang telah dilakukan sebelumnya.
Untuk bisa bekerja dengan baik, departemen membutuhkan ruang gerak yang
memadai. Departemen harus diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri
bagaimana ia menyelesaikan kerja yang diberikan oleh pihak pemberi order. Oleh
karena itu, kepada mereka (departemen) harus diserahkan tanggung jawab untuk
mengatur penggunaan sumber daya (dana, posisi, personalia, perangkat penunjang)
sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Apabila aturan-aturan telah ditentukan
sebelumnya oleh pusat, departemen bisa mengelola sendiri sumber dayanya
dan/atau menukarnya satu sama lain.
Baru dengan adanya penyerahan tanggung jawab untuk mengurus sumber daya,
departemen bisa mengembangkan tanggung jawab terhadap pelanggan dan pasar.
Apabila – misalnya – dalam sebuah instansi masyarakat secara rutin harus
menunggu lama untuk mendapatkan pelayanan yang memang sudah menjadi hak
mereka, maka si kepala instansi dapat mengatur sumber daya yang ada dengan
leluasa. Ini hanya mungkin terjadi manakala ada desentralisasi wewenang. Dengan
kata lain si kepala kantor bisa memutuskan sendiri bagaimana ia memaksimalkan
sumber daya mereka. Untuk kasus waktu tunggu yang lama itu misalnya, ia bisa
mengatur penempatan karyawannya secara fleksibel untuk mengantisipasi
banyaknya jumlah warga yang hendak dilayani. Dengan cara ini si kepala instansi
beserta jajarannya benar-benar melihat masyarakat yang menunggu sebagai
“pelanggan” dan ia serta karyawannya berperan sebagai pelayan. Jika sudah
demikian kondisinya, baru ia mampu menangggung seluruh tanggung jawab untuk
mengelola departemen atau instansinya.
Untuk bisa menghayati tanggung jawab mengatur sumber daya secara efisien, pada
prinsipnya kepada departemen harus diserahkan tugas-tugas manajemen,
pengendalian dan controlling seperti berikut ini:
Organisasi dan penempatan personalia
Penyediaan informasi dan otomatisasi
Perencanaan anggaran dan sumber daya
Pengelolaan dana
Kalkulasi awal dan pasca layanan (produk)
Kalkulasi biaya dan kerja
Analisa pembiasan anggaran dengan mengacu pada ekonomi perusahaan
Pelaporan
Departemen yang mengerjakan order (proyek) harus melaporkan secara rutin
tentang pelaksanaan kerja dan menangani sendiri jika terjadi pembiasan anggaran
(misalnya di pertengahan tahun anggaran ternyata dana dipastikan kurang). Dalam
laporannya, departemen hendaknya menyertakan perhitungan akhir mereka sendiri.
c. Orientasi pada hasil kerja (output)
Administrasi hanya dapat dikendalikan secara efisien apabila titik tolak
penyelenggaraannya berada pada hasil (output) kerja. Tapi sekarang ini tidak
demikian adanya. Sampai hari ini pengendalian administrasi publik secara umum
masih dilakukan melalui input, artinya melalui penjatahan sumber daya secara
sentral. Rancangan anggaran belanja mengatur berapa banyak uang yang boleh
dikeluarkan oleh administrasi dan bagaimana mereka harus menggunakan uang itu.
Tapi tidak ada bagian dalam keterangan anggaran itu yang menyatakan dengan
pasti kerja (produk) apa saja yang harus ia hasilkan dengan uang tersebut dan apa
yang benar-benar bisa diharapkan oleh pemerintah dari anggaran itu.
Administrasi yang dikendalikan murni atas dasar penjatahan sumber daya (input)
dari pusat ini tidak memiliki keleluasaan dalam merancang berbagai pelayanan
kepada masyarakat luas. Dan ini tidak bisa dibenarkan jika ditinjau dari sistem
demokrasi. Aparat administrasi (pemda/pemkot) yang tidak perlu membuktikan
secara rutin apa yang akan ia lakukan secara konkrit dengan dana yang ia minta
dari pemerintah, akan terus menerus membuat pengeluaran yang tak terkontrol dan
menggunakan dana tanpa perhitungan. Suatu manajemen pemerintahan yang
menerima begitu saja – bahwa administrasi merumuskan sendiri tujuan-tujuan dan
kerja mereka, berarti tidak menggunakan substansi hak anggaran. Tidak adanya
kaitan yang jelas antara pemberian dana (input) dan hasil kerja (output) merupakan
kekurangan dalam penataan administrasi dewasa ini – termasuk di negara-negara di
mana birokrasi Weberian berjalan dengan baik – karena penyelenggaraan
administrasinya tidak ditujukan pada produksi kerja yang efisien. Kekurangan ini
tidak bisa ditutupi meskipun dilakukan beberapa perbaikan dalam proses produksi
administrasi.
Untuk bisa melahirkan hubungan antara input dan output harus ada basisnya, dan
basis itu adalah produk kerja. Produk kerja ini merupakan rangkuman dari setiap
aktivitas administrasi yang kemudian dibuat dalam sebuah katalog produk kerja
berdasarkan jumlah, kualitas dan biaya, serta berdasarkan kelompok sasaran dan
permintaan pelanggan (warga). Jumlah produk yang dirangkum tidak boleh terlalu
rendah, karena akan membuat kemungkinan pengendalian menjadi hilang, tetapi
juga tidak terlalu tinggi karena akan menimbulkan banjir informasi yang pada
gilirannya akan menyulitkan keputusan strategis.
Setelah produk kerja dirumuskan dan beberapa produk kerja digabungkan menjadi
sekumpulan produk kerja, kemudian baru ditentukan unit-unit kerja serta
perlengkapan dana dan personilnya. Jadi, jika berangkat dari uraian ini, landasan
perencanaannya pun jelas: “pelaksanaan kerja mengacu pada tujuan yang telah
ditetapkan oleh pemberi order (pemda atau pemkot), bukan sebaliknya”. Kalau
diterjemahkan, ini berarti, tujuan-tujuan dari pemerintah (politik) tidak lagi mengacu
pada kesediaan dan kemampuan administrasi, melainkan administrasilah yang
harus bekerja berdasarkan tugas-tugas strategis yang telah ditentukan oleh politik.
Pengembangan informasi tentang dana dan produk kerja menjadi pedoman kerja.
Dengan bantuan pedoman kerja atau garis-garis besar ini, adminsitrasi bisa
dikendalikan dengan lebih baik. Dan ini berarti hubungan antara kalkulasi dana dan
hasil kerja (output) telah tercipta. Dengan demikian tercipta pula transparansi biaya
yang pada gilirannya bisa dijadikan landasan dasar bagi tanggung jawab terhadap
biaya dan pengukuran kinerja di setiap departemen atau divisi. Syarat untuk itu
adalah berfungsinya pengawasan (controlling) dan manajemen kontrak yang
berorientasi pada hasil kerja (output).
Satu masalah khusus pada proses pengendalian tata kerja administrasi yang
berdasarkan pada output adalah masalah pengukuran output itu sendiri. Karena
selain mengukur jumlah produk kerja yang telah dicapai (kuantitatif), juga harus
dilakukan pengukuran kualitas produk kerja (kualitatif). Di negara-negara yang
administrasinya tidak berorientasi pada pelayanan masyarakat, unsur kualitatif ini
seringkali diabaikan – jika tidak mau dikatakan sama sekali tak ada. Karena itu
penerapan upaya-upaya manajemen yang bertujuan meningkatkan mutu pelayanan
– dalam kaitannya dengan kepuasan masyarakat – menjadi tantangan besar.
d. Controlling
Controlling bisa diartikan sebagai satu konsep terpadu guna mengendalikan
administrasi secara efisien dan ekonomis – dalam rangka mencapai tujuan yang
telah ditetapkan oleh politik. Untuk bisa berfungsi seperti ini, controlling harus
menyediakan informasi yang dibutuhkan pada saat yang tepat. Pengadaan informasi
disesuaikan dengan tingkat kebutuhan yang dimiliki manajemen politik atau
pemerintah sebagai pihak perencana, dan administrasi sebagai pelaksana.
Controlling mencakup semua fungsi yang bertujuan memperbaiki pengadaan
informasi pada instansi-instansi di tingkat atas. Controlling juga menangani fungsifungsi
tertentu , seperti mengenali kebutuhan akan informasi, pengadaan informasi,
penyiapan dan penerapan praktis metode-metode analisa dan evaluasi, serta
persiapan pengolahan informasi untuk perencanaan dan pengawasan hasil.
Oleh karena itu, Controlling lebih dari sekedar pengawasan. Ia merupakan upaya
menyediakan informasi dengan tujuan mengendalikan sebuah proses.
Controlling dibedakan atas controlling strategis (politik) dan controlling operasional
(pelaksana, dalam hal ini administrasi), tergantung pada perspektif waktu, tingkat
pemadatan informasi dan fungsinya bagi daerah.
Controlling strategis merujuk pada tujuan dan perencanaan jangka panjang.
Contohnya adalah model yang biasanya relatif abstrak, tetapi sangat penting bagi
keseluruhan administrasi. Sebaliknya, controlling operasional diarahkan pada
aktivitas sehari-hari dalam sebuah departemen atau divisi. Controlling ini sangat
detail dan nyata dan juga mengandung tujuan jangka pendek. Memang controlling
ini sangat penting bagi kinerja departemen, tapi biasanya tidak memiliki peran
sentral dalam pengendalian administrasi secara keseluruhan.
i. Kalkulasi biaya dan produk kerja
Controlling sebagai pendukung manajemen sangat tergantung pada kalkulasi
biaya dan produk kerja. Dengan kalkulasi ini diharapkan biaya dan produk
kerja bisa lebih transparan dan administrasi bisa mencari jalan alternatif yang
ekonomis dalam melakukan kerjanya.
Sistem kalkulasi dalam administrasi publik yang diterapkan selama ini – kalau
benar-benar dilakukan secara serius dan tidak ditujukan untuk menutupi
pengeluaran – tidak menciptakan transparansi dalam penyusunan biaya yang
diperlukan untuk menghasilkan produk kerja. Paling jauh hanya dibuat
kalkulasi pemasukan dan pemakaian uang. Kalau dibandingkan dengan
kalkulasi ini, kalkulasi biaya dan produk kerja jelas lebih detail dan ada
kejelasan menyangkut waktu (periode) pelaksanaan kerja, pekerjaan yang
dilakukan serta hasil yang diraih. Faktor penting dalam penerapan sistem
kalkulasi biaya adalah bahwa berbagai layanan kepada masyarakat umum
dirumuskan sebagai produk – seperti halnya diuraikan dalam sub bahasan
orientasi pada hasil kerja. Karena hanya dengan cara inilah biaya bisa
dikalkulasi sesuai produk yang dihasilkan (kalkulasi biaya produk kerja) dan
tidak lagi ditampilkan sebagai biaya secara umum. Yang termasuk kalkulasi
biaya kerja adalah jenis biaya yang menunjukkan tipe biaya apa saja (biaya
personal, biaya barang, dls.) yang terpakai pada saat memproduksi kerja,
kalkulasi biaya tempat, yakni biaya yang digunakan untuk keperluan tempat
(bagian/divisi misalnya) dan kalkulasi biaya total, yakni kalkulasi yang
menghimpun berbagai biaya untuk suatu produk kerja – dan dengan demikian
menjadi dasar kalkulasi bagi harga pekerjaan yang dilakukan.
Penerapan kalkulasi biaya kerja ini merupakan beban yang berat dalam
administrasi publik karena untuk itu dibutuhkan perombakan cara berpikir dan
hanya bisa diraih melalui proses belajar yang memerlukan waktu lama.
Padahal instrument ini (kalkulasi biaya kerja) termasuk salah satu persyaratan
terpenting dalam rangka meraih efisiensi dan membuat keputusan produksi
yang tidak boros biaya. Di sini mungkin kalkulasi biaya administrasi bisa
memainkan peran karena ia memberikan data tentang seberapa jauh
produksi yang hendak diraih serta membantu secara strategis pada saat
membuat keputusan tentang seberapa jauh produksi yang hendak dilakukan
dalam adminsitrasi publik dan bidang apa saja yang kiranya bisa diserahkan
pada pihak swasta untuk dikerjakan, karena dengan cara ini, biaya menjadi
bisa ditekan.
ii. Laporan
Unsur dari semua konsep controlling adalah adanya laporan. Keleluasaan
yang muncul karena adanya desentralisasi dan delegasi harus dihubungkan
dengan kewajiban membuat laporan bagi mereka yang menerima
keleluasaan tersebut dan yang harus melaporkan kepada si pemberi order
apa yang mereka lakukan dengan dana yang telah dipercayakan kepada
mereka, dan apakah mereka benar-benar mencapai tujuan dan standar mutu
yang telah ditetapkan sebelumnya. Instrumen pelaporan ini bertujuan untuk
mengolah informasi yang dibutuhkan manajemen sesuai dengan kebutuhan.
Laporan ini umumnya berisi indeks dan sistem indeks. Data-data ini biasanya
disuplai melalui sistem kalkulasi biaya kerja. Karena itu diperlukan satu
pendukung sistem melalui penghitungan. Itu artinya, bersamaan dengan
laporan juga dilakukan kalkulasi biaya kerja dalam administrasi.
Dalam instrumen laporan ini, ada tiga tipe laporan yang berbeda:
Pertama, apa yang disebut dengan laporan yang berorientasi pada
produk.
Tipe laporan ini dikaitkan dengan orientasi pada hasil kerja (output), yakni
layanan jasa yang ditawarkan oleh administrasi publik yang dirumuskan
sebagai produk. Laporan-laporan yang berorientasi pada produk
mendiskripsikan produk-produk tersebut dan sekaligus berfungsi sebagai
landasan dasar bagi kalkulasi biaya produk. Jadi, laporan jenis ini merupakan
jawaban atas pertanyaan: “Biaya apa saja yang diperlukan untuk
menghasilkan produk yang hendak dicapai tersebut?” Target kualitas dan
jumlah apa saja yang telah direncanakan?” Di samping laporan-laporan ini
juga dibuat laporan anggaran dengan pemanfaatan sepenuhnya anggaran
dan pengembangan setiap jenis biaya. Jenis laporan ketiga adalah laporanlaporan
yang berhubungan dengan situasi tertentu – di mana dilaporkan
secara rinci tentang perkembangan di bidang-bidang tertentu.
iii. Penganggaran
Metode perencanaan anggaran belanja yang diterapkan selama ini umumnya
menjadikan angka-angka pada tahun sebelumnya sebagai pertimbangan
untuk menentukan laporan dana baru mana yang akan diserahkan kantor
atau departemen kepada administrasi keuangan pusat. Ini menyebabkan
inovasi dalam pengelolaan dana tidak muncul dan produk yang dihasilkan
pun tidak memadai karena tidak adanya fokus dalam penentuan sasaran.
Penganggaran dalam konteks New Public Management berangkat dari
metode arus balik. Di sini politik – atau pemerintah dalam hal ini –
menetapkan semacam kerangka acuan bagi administrasi untuk menentukan
anggarannya. Patokan anggaran yang ditetapkan secara top-down ini
diperbandingkan dengan anggaran departemen yang dibuat secara bottomup,
dan akhirnya baru dirundingkan suatu anggaran yang akan ditetapkan.
Anggaran ini selanjutnya akan terus dialokasikan dalam sebuah departemen
sehingga pada akhirnya setiap unit kerja mendapatkan anggaran untuk
menyelesaikan pekerjaannya. Dengan anggaran ini, unit kerja bisa membuat
perencanaan sendiri – bagaimana ia menyelesaikan sebuah pekerjaan.
Karena proses ini selalau berjalan dalam koridor persaingan (lihat
benchmarking dan persaingan dengan pihak swasta), maka sasaran atau
tujuan unit kerja tersebut adalah membuat alokasi faktor sedemikian rupa
sehingga dengan jumlah dana yang diperoleh bisa diraih hasil maksimal, atau
dengan sasaran yang telah ditetapkan, dana dan/atau sumber daya yang
digunakan hanya sedikit (minimax-system).
e. Orientasi pada warga/pelanggan
Intisari New Public Management berbunyi: ”Segala sesuatu yang tidak
bermanfaat bagi warga adalah pemborosan.” Kalimat ini mengungkapkan bahwa
administrasi bukanlah tujuan akhir, dan ia hanya punya satu tugas, yakni
memberikan layanan kepada rakyat yang memang berhak mendapatkannya. Di
beberapa negara pernah dikembangkan apa yang disebut “citizen charta” (piagam
warga) yang merangkum hak-hak apa saja yang dimiliki warga sebagai pembayar
pajak kepada negara. Ini artinya, warga tidak lagi dilihat sebagai abdi, melainkan
sebagai pelanggan yang karena pajak yang dibayarkannya mempunyai hak atas
layanan dalam jumlah tertentu dan kualitas tertentu pula.
Jadi, negara dilihat sebagai suatu perusahaan jasa modern yang kadang-kadang
bersaing dengan pihak swasta, tapi di lain pihak, dalam bidang-bidang tertentu
memonopoli layanan jasa, namun dengan kewajiban memberikan layanan dan
kualitas maksimal sejalan dengan benchmarking dan administrasi-asministrasi publik
lainnya.
Sayangnya administrasi klasik lebih menganggap dirinya sebagai pembuat aturan
yang bertugas mendisiplinkan warga dan layanan yang mereka tawarkan sangat
sedikit – dan terutama sekali – mereka tidak diwajibkan untuk menciptakan mutu
layanan yang baik. Selain itu, administrasi klasik tidak bersifat terbuka: ia
menganggap warga yang ingin mewujudkan haknya sebagai faktor pengganggu. Di
sini pendekatan New Public Management menciptakan kriteria yang sama sekali
berbeda. Prinsip dalam New Public Management berbunyi: dekat dengan warga
atau pelanggan, memiliki mentalitas melayani dan luwes, inovatif dalam memberikan
layanan jasa kepada warga.
Dengan demikian, tugas administrasi adalah menciptakan transparansi dan
tercapainya layanan, memberdayakan personil dalam melayani masyarakat, serta
menciptakan kondisi yang berorientasi pada pelayanan. Tujuan ini harus diraih
antara lain dengan langkah-langkah berikut:
Memberikan informasi yang komprehensif secara aktif kepada warga tentang
layanan jasa yang ditawarkan, sehinga warga bisa menilai layanan tersebut dan bisa
memutuskan untuk menolak atau menerimanya.
Membuat layanan bisa diraih secara mudah – baik dari segi waktu maupun tempat,
yakni membuat tawaran yang desentral dan waktu buka layanan yang fleksibel.
Memberikan pelatihan kepada personil (karyawan) administrasi publik sehingga
memiliki keterampilan ketika berhadapan dengan pelanggan.
Memperbaiki kualitas hubungan dengan warga dan upaya-upaya marketing –
misalnya dengan cara melakukan pengecekan terhadap kepuasan pelanggan dan
menyesuaikan tawaran layanan pada permintaan warga sebagai pelanggan.
Dalam pelaksanaannya, sangat penting dilakukan dialog dengan warga, sehingga
tindakan yang diambil benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Untuk itu
langkah yang bisa diambil adalah melakukan semacam angket dan sarana yang
secara efisien mengatur keberatan-keberatan masyarakat sebagai pelanggan.
Dengan cara ini, selain kualitas layanan dan citra administrasi, juga bisa diketahui
keinginan masyarakat atau masukan-masukan dari mereka.
Akan tetapi, orientasi kepada pelanggan saja tidaklah cukup. Masyarakat sebagai
pelanggan juga harus dibebaskan dari sikap yang terkadang terlalu tinggi
harapannya kepada pemerintah, dan harus dijelaskan kepada mereka bahwa setiap
layanan ada harga yang harus dibayar. Dan bahkan harga ini harus selalu dibayar:
oleh warga secara pribadi (biaya administrasi) atau oleh orang lain (pajak), atau oleh
generasi yang akan datang (hutang).
Mengingat situasi keuangan yang ada di hampir semua administrasi publik, banyak
dari mereka yang harus membuat keputusan untuk menghapus layanan-layanan
administrasi dan menyerahkan layanan tersebut dikerjakan oleh pihak ketiga –
karena layanan dari pemerintah tidak bisa lagi dibiayai. Hal ini hanya bisa
didiskusikan dengan masyarakat – jika administrasi bisa menyebutkan harga
layanan dan membuktikan harga ini dengan melampirkan hasil kalkulasi biaya kerja.
Administrasi publik yang dekat dengan warga juga berarti mewujudkan transparansi
tentang hal yang bisa dilakukan dan yang tak bisa dilakukan. Jika New Public
Management diterapkan, pemerintah harus kembali pada fungsi dasarnya
(keamanan dalam dan luar negeri, hubungan luar negeri, jaminan aturan hukum,
infrastruktur makro, perlindungan konstitusi, dsb.), dan begitu pula dengan pemda
atau pemkot (jaminan penyediaan kebutuhan dasar, pembuangan sampah,
pemanfaatan wilayah, perencanaan daerah, dsb.).4 Administrasi publik harus benarbenar
kuat dalam bidang-bidang ini, dan harus membuat layanan yang dapat
dipercaya.
Layanan-layanan lain lebih banyak dikelola oleh pihak swasta – dan tentu saja harus
dibayar kepada mereka atau dikelola sendiri oleh rukun warga (RW) atau rukun
tetangga (RT). Jelaslah di sini bahwa orientasi kepada warga itu tidak hanya dilihat
dalam hubungan antara si pemberi dan pengguna layanan, melainkan warga sendiri
memiliki fungsi dalam membuat layanan untuk mereka sendiri.
f. Personalia
Personalia merupakan faktor kunci bagi suksesnya sebuah proses modernisasi.
Modernisasi administrasi publik hanya akan berhasil apabila potensi sumber daya
manusia dimanfaatkan secara maksimal, atau – jika ada kekurangan di bidang ini –
memperbaiki sumber daya manusianya (human capital). Dalam proses modernisasi
penting sekali melibatkan karyawan, karena tanpa itu hanya akan dicapai
ketidakpastian dan seringkali sikap penolakan (boikot) yang merintangi pelaksanaan
reformasi. Di sini harus ditentukan sedini mungkin tujuan-tujuan yang jelas untuk
menyadarkan makna modernisasi kepada karyawan dan juga untuk menunjukkan
keuntungan apa saja yang mereka miliki dengan adanya tujuan yang jelas tersebut.
Untuk membentuk manajemen personalia yang sukses, harus diambil beberapa
langkah berbeda. Langkah yang paling utama adalah upaya ofensif dalam
meningkatkan kualifikasi karyawan. Langkah ini berupa pendidikan dan pelatihan –
guna meningkatkan pengetahuan di bidang ekonomi perusahaan, manajemen dan
komunikasi. Jadi, perlu dilakukan investasi terarah kepada peningkatan kompetensi
keahlian dan sosial para karyawan. Langkah-langkah ini terutama sekali perlu
dilakukan di negara-negara di mana proses menjadi karyawan dalam kantor publik
tidak berdasarkan kualifikasi dan realibitas karyawan, melainkan melalui nepotisme
atau cara-cara politis.
Pertanyaan yang sering dilontarkan – yakni apakah New Public Management baru
bisa diterapkan apabila ada birokrasi seperti yang dimaksud Weber (birokrasi
Weberian), mungkin bisa dijawab seperti ini: memang birokrasi seperti ini
memudahkan implementasi New Public Management, tapi kita tidak harus bertitik
tolak pada satu prasyarat. Karenaa birokrasi Weberian itu tidak mengenal prinsip
efisiensi dan efektivitas dalam jawatan publik; padahal dua hal ini merupakan tujuan
utama dari New Public Management.
Hal yang penting dalam pendekatan ini adalah penerapan metode-metode dan
instrumen-instrumen kerja yang menciptakan iklim di mana prinsip-prinsip New
Public Management bisa tumbuh subur. Salah satu metode itu adalah teamwork
sebagai ganti dari metode pembagian kerja yang tumpang tindih; organisasi yang
bersifat vertikal (sejajar) sebagai ganti model hirarki; manajemen proyek sebagai
ganti prinsip pekerja khusus (Sachbearbeiterprinzip), keahlian yang bersifat umum
sebagai ganti pengetahuan yang hanya menjurus pada satu bidang tertentu;
kerangka acuan sasaran sebagai ganti pengendalian melalui aturan dan hal-hal
yang detail, jaringan pengolahan data (EDV) sebagai ganti pencatatan setiap
aktivitas dan pembayaran upah berdasarkan prestasi kerja sebagai ganti prinsip
penyediaan (Versorgungsprinzip). Prinsip-prinsip manajemen ini di banyak negara
berbenturan dengan bentuk kerja praktis – dan terutama sekali dengan undangundang
kerja – dan dengan mentalitas para karyawan dalam jawatan publik yang
menganggap diri mereka memiliki semua keistimewaan sebagai pegawai negeri.
g. Teknik informasi
Prinsip-prinsip manajemen yang telah diuraikan di atas beserta seluruh bentuk
pengendalian membutuhkan suatu sistem informasi yang sempurna. Penggabungan
informasi dan komunikasi yang cepat, pemadatan data untuk pengendalian dan
kemungkinan mengakses kumpulan data guna memenuhi keinginan pelanggan.
Semua itu membutuhkan jaringan alat pengolahan data sehingga pekerjaan bisa
dilakukan dengan cepat, dan, terutama sekali bisa dipercaya.
Tanpa teknik informasi dan komunikasi yang menggunakan jaringan struktur
klien/server, unit-unit yang bekerja secara desentral tidak bisa dikendalikan, dan
tidak mungkin pula membuat pengolahan data klien yang memuaskan. Hanya
dengan teknologi seperti ini varian one-stop-shop5 dalam berhubungan dengan klien
(masyarakat) bisa terjamin. Karena bentuk ini memastikan karyawan bisa
menggunakan pengetahuan administrasinya, dan melalui buku-buku panduan
organisasi digital dimungkinkan melakuan layanan jasa di bidang administrasi tanpa
harus tergantung pada waktu dan tempat.
h. Manajemen kualitas
Setiap produk – termasuk pekerjaan yang mengiringi produk tersebut – memiliki
sejumlah ciri yang bisa dibedakan. Pada awalnya kualitas adalah sekumpulan
karakter sebuah barang atau jasa yang menunjukkan tingkat keterpakaiannya
(“pendekatan kualitas yang berorientasi pada produk”).
Tapi kemudian dipastikan bahwa ada produk yang menunjukkan semua karakter
yang direncanakan, namun tidak diminati pembeli. Jadi, ternyata, masalahnya bukan
terletak pada karakter barang, melainkan bagaimana pelanggan menilai kualitas
produk tersebut. Kriteria-kriteria berikut sangat menentukan penilaian (subyektif)
pelanggan:
Produk harus sesuai dengan tuntutan dan tujuan penggunaan yang direncanakan.
Di samping itu kualitasnya harus sangat tinggi sehingga ia menjadi pertimbangan si
pelanggan dalam memutuskan untuk membeli produk tersebut atau tidak. (penilaian
kualitas secara selektif).
Harga dan kapasitas produk harus tidak jauh berbeda dari produk yang dijadikan
perbandingan oleh pelanggan (penilaian kualitas secara relatif).
Makin dekat produk yang ditawarkan dengan tuntutan-tuntutan ini makin besar pula
kemungkinan munculnya permintaan pelanggan akan produk tersebut (“pendekatan
kualitas yang berorientasi pada pelanggan”). Sayangnya tuntutan pelanggan akan
kualitas produk jarang sekali ditentukan secara jelas. Ini berarti pihak penawar
produk harus mengenali harapan-harapan pelanggan – yang sering tak dinyatakan
tersebut – dengan cara mengambil tindakan yang sesuai, dan kemudian menarik
kesimpulan yang benar serta membuat pengamatan secara terus menerus.
Pendekatan kualitas yang ketiga (“pendekatan kualitas yang berorientasi pada nilai”)
tampaknya penting bagi administrasi publik, khususnya pada kasus-kasus di mana
ia tidak harus bersaing dengan pihak swasta dan bisa menawarkan layanan – yang
karena alasan politik tidak dipungut biaya (contohnya pengendalian lalu lintas,
sekolah). Di sini adminsitrasi publik tidak bisa semata-mata mengikuti cara pandang
pelanggan. Karena pelayanan yang seperti ini harus melewati proses saringan
dalam produksinya, yakni menyangkut biaya pengadaan dan sasaran yang hendak
dicapai pemerintah (outcome). Dalam New Public Management, persaingan dan
perbandingan layanan berfungsi sebagai asas dasar peningkatan nilai.
Sejalan dengan sejarah, filosofi dan organisasi kebijakan perusahaan yang
diarahkan pada kepuasan klien secara optimal telah pula berubah. Perkembangan
perubahan organisasi yang berlangsung dalam tiga tahap ini bisa dilukiskan sebagai
berikut:
Konsep “manajemen mutu” lama menekankan pada pengawasan akhir dari produk
yang dihasilkan. Pengujian dilakukan oleh bagian tersendiri, yakni bagian
“pengawasan mutu”. Apabila terjadi penyimpangan mutu, hal ini diatasi dengan
segera (menyortir produk yang tidak sempurna, menambah yang kurang), atau
dilayani kemudian, yakni pada pelayanan purnajual (layanan garansi). Sebenarnya
produk-produk perusahaan Jepanglah yang telah menyebabkan terjadinya
perubahan orientasi pada pengamatan mutu yang berorientasi pada proses.
Tujuannya adalah untuk mengganti proses pengujian yang banyak memakan biaya
dengan realisasi level kualitas yang dikehendaki selama proses produksi layanan.
Agenda di balik ini adalah bahwa setiap karyawan punya andil dalam menentukan
kualitas – dan karenanya ikut memikul tanggung jawab. Konsep-konsep terbaru juga
mempertimbangkan seluruh sistem – dan dengan demikian seluruh potensi sebuah
organisasi. Dimensi potensi ini mencakup syarat-syarat layanan menyangkut
barang, personil dan organisasi dari seorang penawar. Selain itu hasil kerja dari
pihak lain juga ikut dipertimbangkan. Faktor lain yang ikut pula diperhatikan adalah
meningkatnya pernyataan-pernyataan tentang dampak kerja administrasi (efektifitas,
outcome).
Jadi fokusnya telah mengalami perubahan, bukan lagi pada upaya menghilangkan
kesalahan melainkan menghindari kesalahan. Dalam literatur, fenomena ini dibahas
dengan tajuk quality management atau total quality management.
Manajemen mutu berarti: administrasi melakukan segala sesuatunya dalam rangka
mengorganisasikan proses-proses produksi, standar dan sumber daya bersama
para staf manajemen dan karyawannya. Tujuan pengorganisasian ini adalah agar
administrasi merespon kebutuhan-kebutuhan warga/klien yang masih legitim selama
proses produksi kerja/layanan. Perkembangan ini belum tertanam dalam pikiran
para karyawan. Tampaknya kualitas masih saja diputuskan pada produk, bukan
pada kebutuhan pelanggan.
- Kriteria dan standar untuk pengukuran kualitas:
Kriteria apa saja yang diperlukan untuk mengukur kualitas dalam administrasi publik,
dan standar apa saja yang harus dicapai melalui kriteria tersebut?
Kriteria: Tidak kehilangan waktu
Standar: waktu tunggu maksimal
Pemberitahuan antara dalam x hari
Waktu tunggu maksimal di telepon
Lama proses maksimal dalam hari
Kriteria: Reliabilitas layanan
Standar: Kuota kesalahan yang boleh muncul x %
Pencapaian andil x % dari kelompok sasaran
Kriteria: Ketepatan informasi
Standar: Instruksi di atas kertas
Tawaran konsultasi, hearing
Kriteria: Kemungkinan memilih
Standar: pilihan antara komunikasi personal, per telepon dan tertulis
Sistem penerangan teknis
Tawaran bantuan pada saat pemohonan
Kriteria: Lingkungan yang positif
Standar: Ruang tunggu dan tempat duduk untuk x %
Jarak yang maksimal dari lalu lintas umum
Tempat parkir untuk setiap pengunjung dari luar
Jarak maksimal (antara tempat tinggal warga dengan kantor terdekat)
Kriteria: Karyawan yang ramah, suka membantu
Standar: Setidaknya pernah ditatar cara-cara berinteraksi dengan warga
Saling membantu jika dibutuhkan
Menyapa klien dengan nama
Kriteria: Kenyamanan pelayanan
Standar: Waktu buka
Bersedia menelpon kembali
Tawaran konsultasi
Kriteria: Membuat layanan yang kompeten
Standar: Memiliki karyawan yang cukup
Punya akses ke atasan
Tawaran pelatihan (pendidikan lanjutan) dan manfaatnya
Meminta alasan untuk keputusan yang diambil
4. Pengaktifan struktur baru
Reformasi administrasi tidak berhenti pada upaya perubahan struktur atau
penciptaaan struktur baru. Struktur yang telah diubah atau struktur baru yang telah
diciptakan itu harus diaktifkan, dan untuk itu harus ditemukan motor penggeraknya
yang memotivasi karyawan untuk membuktikan produktivitas kerja dan kemampuan
inovasi mereka dan untuk bertugas di administrasi publik. Penerapan instrumeninstrumen
ekonomi perusahaan dalam administrasi publik tidak cukup untuk
menjamin efisiensi dan efektifitas yang lebih tinggi. Tekanan untuk menciptakan
efisiensi hanya bisa muncul bila sistem persaingan yang diterapkan berjalan dengan
baik. Persaingan ini menghasilkan kemungkinan perbandingan antara yang
bertanggung jawab pada produk dan anggaran – yang dampaknya adalah tekanan
kepada pihak penawar layanan untuk selalu mengoptimalkan kerjanya.
Seringkali masalah yang timbul pada implementasi persaingan di bidang
administrasi publik adalah tidak adanya pasar bagi produk yang mereka tawarkan;
terlebih administrasi publik seringkali memonopoli layanan. Ditambah lagi
keberadaan administrasi tidak terancam secara langsung – walaupun ada pasar
untuk produk-produknya, kecuali jika politisi yang berkuasa cukup radikal menarik
administrasi publiknya sendiri dari pasar jika ia tidak bertahan di sana. Dengan
menerapkan model-model persaingan, diharapkan tercipta kondisi yang sedikit
banyak memiliki karakter kompetisi, misalnya melalui perbandingan intraadministratif
menyangkut kinerja dan perbandingan dengan perusahaan swasta.
a. Penerapan asas persaingan
i. Benchmarking
Benchmarking muncul pertama kali dalam ekonomi industri. Gagasan yang
mendasarinya adalah memiliki standar untuk kualitas hasil kerja sendiri.
Yang menjadi alat ukur adalah biaya dan kinerja perusahaan atau divisi
lain dengan aktivitas serupa. Di samping informasi tentang kualitas
pekerjaan sendiri, perbandingan kinerja juga memberikan peluang untuk
belajar. Dalam melakukan perbandingan ini penting sekali melakukan
analisa terhadap aktivitas penawar yang lain. Apa yang berbeda pada
produk mereka? Apa yang dapat kita pelajari dari hal itu?
Instrumen benchmarking sudah diterapkan sejak bertahun-tahun dalam
perusahaan swasta. Karena itu wajarlah kalau muncul pertanyaan apakah
instrumen ini bisa digunakan juga dalam administrasi publik. Pertanyaan ini
perlu disambut karena banyak layanan sama yang dihasilkan administrasi.
Bahkan pelaksanaan benchmarking dalam administrasi publik ada
keuntungannya karena di satu sisi tidak ada tekanan untuk bersaing dan
karenanya pemerintah daerah sampai tingkat terkecilnya (kelurahan) bisa
menginformasikan jauh lebih terbuka tentang metode produksi dan biaya
mereka. Tapi di sisi lain, tidak adanya kalkulasi biaya di banyak
administrasi membuat lebih sulit mendapatkan data-data yang benar-benar
komparatif. Pada prinsipnya ada tiga langkah yang harus ditempuh untuk
melakukan benchmarking:
1. Definisi layanan dan biaya yang hendak diperbandingkan
2. Pencatatan data-data yang diperbandingkan
3. Perbandingan hasil-hasil dan interpretasinya
Kesulitan pertama muncul di saat mendefinisikan layanan dan biaya yang
hendak diperbandingkan. Tidak setiap administrasi (pemda/pemkot)
menawarkan layanan yang sama meskipun nama produk atau layanannya
sama. Pada layanan pembersihan jalan misalnya, kinerja yang hendak
diperbandingkan harus dibatasi dengan pasti. Di sini – misalnya – perlu diuji
apakah layanan pembersihan juga mencakup pemeliharaan elemen-elemen
dekorasi – seperti pohon-pohon dan semak-semak, atau apakah
pengosongan tong sampah termasuk di dalamnya atau tidak. Selain itu,
indikator-indikator untuk kondisi umum yang penting harus ikut diperhatikan
juga. Pembersihan jalan sepanjang satu kilometer di sebuah kampung yang
terletak di gunung tidak sama dengan pembersihan jalan di kampung di
daerah datar.
Biaya pencatatan data-data untuk perbandingan tergantung pada
manajemen administrasi. Apabila administrasi sebelumnya sudah pernah
bekerja dengan elemen-elemen kalkulasi biaya, maka keterangan yang
diperlukan umumnya sudah ada. Administrasi yang sebelumnya tidak
melakukan itu akan membutuhkan biaya tambahan untuk mencari datadata
tersebut. Ketika melakukan perbandingan hasil – bagian terpenting
dalam benchmarking – bisa dibandingkan nomor indeks. Untuk layanan
pembersihan jalan misalnya, indeksnya adalah biaya total pembersihan
jalan per kilometer atau biaya total per kilometer dalam seluruh jaringan
jalan. Hasilnya kemudian bisa dijadikan patokan untuk memposisikan desa
kita dalam perbandingan dengan desa lain.
Akan tetapi, perbandingan kinerja bukan bertujuan untuk membuat
semacam daftar ranking. Yang lebih penting adalah belajar bagaimana
desa lain membuat layanan serupa – yang dapat diproduksi dengan biaya
yang lebih rendah. Menurut berbagai pengalaman, hasil-hasil
benchmarking harus didiskusikan secara intensif agar kondisi umum
(topografi, tuntutan akan mutu, alat-alat mesin yang ada) bisa
dinterpretasikan dengan benar. Perbandingan kinerja antara berbagai
administrasi merupakan instrumen yang ideal untuk mengoptimalkan
dampak dari aktivitas pemerintah.
ii. Persaingan dengan pihak swasta
Ilmu ekonomi terus membuktikan bahwa persaingan mendorong
peningkatan kinerja, tapi tidak ada bukti yang menyebutkan bahwa industri
swasta lebih produktif dari administrasi publik. Namun, banyak politisi
berasumsi bahwa kinerja industri swasta lebih unggul. Lalu seringkali
mereka menganggap privatisasi sebagai cara yang teruji khasiatnya dalam
rangka mengatasi masalah dalam administrasi publik. Tapi asumsi ini tidak
tepat apabila monopoli pemerintah selama ini diubah menjadi monopoli
swasta. Karena itu istilah privatisasi tidak tepat digunakan di sini.
Sebenarnya yang harus dibicarakan adalah menciptakan persaingan
(pihak pemerintah membuat tender umum untuk suatu layanan, misalnya
penyediaan air bersih). Apabila persaingan seperti ini diciptakan, maka
tidak penting lagi apakah administrasi menjadi bagian dari persaingan atau
tidak, selama tidak ada subsidi untuk mengaktifkan persaingan tersebut.
Untuk menjawab pertanyaan apakah perusahaan swasta bisa
menawarkan jasa yang lebih murah, bisa digunakan metode tender untuk
aktivitas administrasi publik. Tujuannya adalah untuk mencari penawar
yang kompeten – yang bisa menghasilkan layanan jasa yang selama ini
dikerjakan administrasi pemerintah dalam bentuk dan waktu yang
diinginkan, dengan biaya serendah mungkin. Mitra seperti ini juga bisa
berasal dari dalam organisasi pemerintah sendiri, artinya dari satu unit
organisasi (divisi). Jadi, masalah yang dijawab di sini adalah masalah
“make or buy”.
Pemberi jasa publik tidak perlu khawatir terhadap persaingan seperti ini. Di
Inggris misalnya, metode tender umum untuk sebagian besar layanan
publik merupakan suatu kewajiban yang diatur UU. Di sana 80% dari
semua tender dimenangi oleh penawar dari pemerintah.
Apabila tender ini berakhir dengan pemberian order kepada pemberi jasa
dari luar, maka ini disebut contracting out. Pemberian tender ini dilakukan
dalam bentuk perjanjian antara pihak pemerintah dan perusahaan jasa
yang di dalamnya mencantumkan kerja yang hendak dicapai dengan
ukuran kerja yang jelas. Pihak penawar secara langsung menyuplainya
kepada klien (warga). Namun, tanggung jawab secara keseluruhan dan
pengawasan mutu tetap berada di tangan administrasi publik atau
pemerintah. Dengan dikerjakannya order oleh pihak swasta, berarti beban
pemerintah berkurang, tapi di lain pihak muncul pekerjaan tambahan,
yakni dalam hal mengendalikan layanan tersebut secara keseluruhan.
Bentuk lain dari praktek pemberian pelayanan kepada publik bisa terlihat
sebagai berikut: administrasi publik atau pemerintah tetap menjadi pihak
yang memberikan layanan, tetapi beberapa bagian dari pekerjaan untuk
layanan yang akan ditawarkan (misalnya penyedian air bersih) ditangani
pihak swasta (tanggung jawab untuk perlegkapan); atau melibatkan pihak
swasta dalam pengadaan modal dan tempat produksi (Public Private
Partnership).
Meskipun pelibatan pihak swasta – yang berarti terciptanya persaingan –
ada risikonya, tapi pengalaman-pengalaman internasional menunjukkan
bahwa perluasan persaingan secara wajar melalui tender terbuka sebagai
instrumen pengendalian – mungkin menjadi langkah terpenting dalam
rangka meningkatkan orientasi pada warga dan penghematan anggaran.
5. Realisasi tindakan dan implementasi
New Public Management tidak memiliki teori yang menyeluruh dan umumnya
didasari pada pengalaman-pengalaman empirik hasil eksperimen yang bertujuan
membuat administrasi publik menjadi lebih baik dan lebih efisien. Tujuan ini bukan
ditunjang pada keyakinan bahwa pemerintah (administrasi publik) akan bekerja lebih
baik dan lebih cepat, tetapi karena kekurangan dana: jadi bekerja secara efisien dan
lebih baik adalah keniscayaan bagi administrasi publik.
Tidak ada buku pedoman untuk penerapan New Public Management yang menjamin
kesuksesan jika ia direalisasikan secara konsisten. Berhasil atau tidaknya New
Public Management akan sangat tergantung pada kehendak politik dari semua yang
terlibat. Itu syarat pertama. Jika syarat ini terpenuhi, harus dibuat analisa khusus
terhadap situasi, dan dalam analisa inilah ditaksir kelebihan dan kekurangan serta
risiko-risiko yang mungkin timbul – di saat dilakukan perombakan ke arah
administrasi publik yang modern, atau risiko-risiko yang memang sudah ada.
Ini merupakan situasi klasik yang menjadi titik tolak untuk mengembangkan strategi.
Tanpa strategi seperti ini, implementasi biasanya tidak akan berhasil, dan akan
mandek di tengah jalan. Lalu, hasilnya pun akan lebih buruk dari kondisi yang
pernah ada sebelumnya.
Di lain pihak, ketidakpuasan warga terhadap efisiensi administrasi atau
penyelenggaraan pemerintahan dan tuntutan dari pihak donatur internasional serta
mitra memaksa penyelenggara pemerintah mengkaji tema “Good Governance” ke
satu arah yang mendorong terciptanya peningkatan dan perbaikan kinerja – yang
pada gilirannya menghalangi terjadinya penyalahgunaan dana dan mengakhiri
pemborosan dana. Dengan penerapan New Public Management, praktek-praktek
seperti korupsi dan nepotisme pasti bisa ditemukan dan dihentikan sejak dini. Pada
saat yang sama, melalui pembatasan tanggung jawab yang jelas, mereka yang
melakukan kesalahan bisa diminta pertanggungjawabannya. Dengan demikian, New
Public Management sangat perlu diterapkan – meski itu menuntut pekerjaan yang
tak ringan.
Daftar bacaan
Aberbach, Joel y Rockman, Bert (1999) “Reinventar el Gobierno:Problemas y
Perspectivas” En: Gestión y Análisis de Politicas Públicas, No.15, INAP,
Madrid Mayo/Agosto
Allen, R. (1999) “New Public Management:’ Pitfalls for Centrals and Eastern
Europe.” Public Management Forum 1(4).
Aucoin, Peter (1996). “Operational Agencies: From Half-Hearted Efforts to Full-
Fledged Government Reform.” Choices: Institute for Research on Public Policy,
2(4).
Batley, R. 1999. The Pole of Government in Adjusting Economies:
An Overview of Findings, International Development Department,
University of Birmingham, Birmingham, Alabama.
Boston, J. 2000. “The Challenge of Evaluating Systemic Change:
The Case of Public Management Reform.” Paper prepared for the
IPMN Conference “Learning from Experiences with New Public
Management,” Macquarie Graduate School of Management, March
4-6, Sydney.
Castaneda, T. 1997. “Health Sector Reforms in Chile:
Deconcentration of Hospital Services and Decentralization of
Primary Health Care.” Paper prepared for HDD, World Bank.
CLAD (1998) “Una Nueva gestión pública para América Latina”,
Caracas: CLAD
Dunleavy, P., and C. Hood 1994. “From Old Public Administration to
New Public Management.” Public Money and Management (July –
Sept.): 9-16.
Echebarria, Koldo (1994) “La administración pública en la era del management”
En: Barcelona Management Review. Barcelona Vol.1
(2000) “Reivindicación de la reforma administrative: significado y modelos
conceptuales”. En: Revista de CLAD Reforma y democracia. Cracas No. 18.
Flynn, N. and S. Pickard. 1996. Markets and Networks: Contracting
In Communitz Health Services. Buckingham, DK: Open University Press.
Harding, A. and A. Preker, eds. 1999. Innovations in Health Service
Delivery: Corporatization in the Hospital Sector. New York: Oxford
University Press.
Hood, C. 1991. “ A Public Management for All Seasons?” Public
Administration, 69 (Spring): 3-19.
James, O. and N. Manning. 1996. “Public Management Reform: A
Global Perspecitve.” Politics 16(3): 143-149.
Kelly, J. and J. Wanna. 2000. “ Are Wildavsky’s Guardians and
Spenders Still Relevant? NPM and Budgetarz Politics.” In: L. Jones,
J. Guthrie and P. Steane, eds., Learning from International Public
Management Reform. London: Elsevier-Oxford Press.
Laufer, Romain y Alain Burlaud (1989).Dirección pública : gestión y legitimidad.
Madrid: Instituto Nacional de Administración Pública.
Kernaghan, K. 2000. “The Post-Buereaucratic Organization and Public Service
Values.” International Review of Administrative Sciences 66(1): 91-104.
Manning,N., R. Mukherjee, et al. 2000. “Public Officials and Their Institutional
Environment: An Analytical Model for Assessing the Impact of Institutional Change
On Public Sector Performance.” Policy Research Working Paper No. 2427. World
Bank, Washington, D.C.
Miller, P. 1996. “Dilemmas of Accountability: The Limits of Accounting.” In P.Hirst
And S.Khilnani, Eds., Reinventing Democracy. Oxford: Blackwell.
Minogue, M. 1998. “Changing the State: Concepts and Practice in the Reform of the
Public Sector.” In C.Polidano, M.Minogue and D.Hulme, eds., Beyond the New
Public Management: Changing Ideas and Practices in Governance. Cheltenham,
UK: Edward Elgar.
Mintzberg, Henry (1996) “Managing Government, Governing Management”.
In: Havard Business Review. Boston.
Peters, B. G. 1998. “Governance without Government: Rethinking Public
Adminstration.” Journal of Public Administration Research and Theory, 8(2):
223-243.
Peters, B.G. 1996. The Future of Governing: four Emerging Models.
Lawrence, KS: University of Kansas Press.
Peters, B.G. and D. Savoie. 1994. “Civil Service Reform: Misdiagnosing the Patient.”
Public Administration Review, 54(5).
Polidano, C. 1999. “The New Public Management in Developing Countries.” Institute
For Development Policy and Mangagment, University of Manchester, Manchester.
Pollitt, C. 1993. Managerialism and the Public Services. Oxford: Blackwell.
Pollitt, C., J. Birchall, et all. 1998. Decentralising Public Service Management.
Hampshire, UK: MacMillan.
Romzek, B.S. 2000. “Dynamics of Public Sector Accountability in an era of Reform.”
International Review of Administrative Sceinces, 66 (1): 21-44.
Schick, A. 1996. The Spirit of Reform: Managing the New Zealand State Sector in a
Time of Change. Wellington, New Zealand: State Services Commission.
Schwartz, Herman (1994) Public Choices Theory and Public Choices. Bureaucrats
And State Reorganisation in Australia, Denmark, New Zealand and Sweden in the
1980s”. In: Administration and Society, Newbury Park. Vol. 26, No.1.
Scott, Graham and Taylor, Irene. 2000. “Autonomous Public Organisations in
Thailand”. Victoria Link mimeo. Wellington, New Zealand.
1 CLAD’s DOCUMENT: A New Puclic Management for Latin America, (1998), Latin
American Centre for Development Administration:
http://unpan1.un.org/introdoc/groups/public/document/clad/unpan000163.pdf
2 Studi komparatif tentang penerapan New Public Management: Norman Flynn dan Franz
Strehl (1996), Public Sector Management in Europe, Prentice Hall, London; Kettl, Donald
(1998), A revulacao global: reforma da administracao do sector público”, dalam: Reforma
do Estado Administracao Pública Gerencial, Fundacao Getúlio Vargas, Rio de Janeiro;
Allen R. (1999) ”New Public Management: Pitfalls for Central ans Eastern Europe.”
Public Management Forum 1 (4); Batley, R. (1999) “The Role of Government in Adjusting
Economies: An Overview of Findings.” International Development Department, University
of Birmingham, Birmingham, Alabama;
3 Lihat juga bab tentang prasyarat untuk implementasi New Public Management dan
tuntutan birokrasi anjuran Weber.
4 Tendensi konsentrasi atas wewenang dasar ini dilukiskan sebagai penciptaan Lean State
5 One-Stop-Shop: sarana administrasi yang bertujuan untuk melayani secara menyeluruh
warga yang hendak menyelesaikan urusan administrasi dengan satu karyawan dan di satu
kantor. Ini artinya, orang yang bersangkutan tidak perlu lagi pergi ke kantor yang berbeda beda
untuk menyelesaikan urusannya, misalnya untuk izin kendaraan bermotor,
pembayaran biaya tertentu dan tuntutan akan layanan jasa sosial. Semuanya diurus di satu
tempat (kantor) oleh seorang karyawan.